DPR dan Pemerintah Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup

JAKARTA, ANGKASA NEWS— DPR dan pemerintah sama-sama menolak sistem proporsional tertutup dalam Pemilu 2024. Mereka menyatakannya dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (26/1/2023).

Dalam pembacaan keterangan DPR, anggota Komisi III Supriansa menjelaskan para pemohon perkara tak memiliki legal standing dan tidak memenuhi persyaratak kerugian konstitusional.

“Komisi II DPR RI secara bersama dengan Mendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP bersepakat bahwa pelaksanaan Pemilu 2024 tetap berdasarkan Undang-Undang Pemilu. KPU RI berkomitmen untuk menyelenggarakan Pemilu 2024 berdasarkan Undang-Undang Pemilu yang menggunakan sistem Pemilu proporsional terbuka” katanya.

Hal itu sesuai dengan pasal 168 ayat (2) UU No 7 Tahun 2017 dan putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008 yang menyatakan Pemilu untuk anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten-Kota dilaksanakan dengan sistem proposional terbuka.

Saat ini Mahkamah Konstitusi sedang memeriksa gugatan soal wacana sistem pemilu proporsional tertutup diajukan oleh enam orang, yakni dua dari kader Partai Politik (Parpol) dan empat perseorangan. Keenam orang tersebut adalah Pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono, anggota Partai NasDem Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Delapan fraksi di DPR yang terdiri dari Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP menolak wacana proporsional tertutup. Mereka juga mendesak agar MK mempertahankan sistem proporsional terbuka di Pemilu 2024.

Terkait sistem pemilu, Supriansa menekankan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengharuskan pentingnya keterwakilan rakyat. Oleh sebab itu, sistem pemilu proporsional terbuka sesuai dengan amanat konstitusi.

“Sistem proporsional terbuka memiliki derajat keterwakilan yang baik, karena pemilih bebas memilih wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif secara langsung dan dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya,” ujar Supriansa saat memberikan pandangan DPR.

Pandangan pemerintah

Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar menyampaikan pandangan serupa. Dia mengutip Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menekankan kedaulatan berada di tangan rakyat.

Sistem proporsional terbuka saat ini merupakan hasil musyawarah yang memperhatikan kondisi objektif proses transisi masyarakat ke demokrasi. Dengan sistem terbuka, pemerintah menganggap akan ada penguatan sistem kepartaian, budaya politik, perilaku pemilih, hak kebebasan berpendapat, kemajemukan ideologi, kepentingan, dan aspirasi politik masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik.

Bahtiar menekankan saat ini penyelenggaraan pemilu sudah berjalan. Jika sistem pemilu digantikan maka hanya akan menimbulkan masalah baru.

“Perubahan yang bersifat mendasar terhadap sistem pemilihan umum di tengah proses tahapan pemilu yang tengah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial politik, baik di partai maupun masyarakat,” jelas Bahtiar saat memberikan pandangan pemerintah.

MK akan melanjutkan perkara sistem pemilu ini akan dengan menggelar sidang pleno untuk mendengarkan pendapat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pihak terkait lain yang mengajukan diri.

Dalam sistem pemilu proporsional tertutup masyarakat tak memilih wakil rakyat di DPR dan DPRD. Pemilih hanya mencoblos partai politik (parpol). Selanjutnya parpol menentukan kader yang akan duduk di kursi DPR dan DPRD.

Sistem proporsional terbuka sudah dipraktikkan dalam tiga pemilu belakangan. Lewat sistem ini masyarakat dapat mencoblos langsung wakil rakyat yang dirasa dapat mewakili mereka baik di DPR maupun DPRD. (int)

Komentar