Oleh: Abidin Arief To Pallawarukka, SH. (Tokoh Adat Tana Luwu)
KEBERADAAN PT. Vale Indonesia beserta mitra kontraktornya di wilayah konsesi Sorowako, Luwu Timur, seharusnya menjadi berkah bagi masyarakat adat lokal.
Perusahaan tambang besar dengan reputasi internasional seperti PT. Vale, semestinya mampu menghadirkan peluang pemberdayaan, membuka lapangan kerja, dan memperkuat tatanan sosial budaya masyarakat sekitar.
Namun, harapan itu tampaknya berbalik arah. Di lapangan, yang justru terjadi adalah munculnya berbagai gejolak sosial. Mulai dari tuntutan ketenagakerjaan oleh penduduk lokal, sengketa lahan yang tak kunjung usai, hingga penolakan terhadap rencana ekspansi tambang di kawasan Seba-Seba dan Tana Malia.
Semua itu menyiratkan satu hal akan kepercayaan masyarakat adat terhadap komitmen perusahaan semakin menipis.
Dalam perspektif kami sebagai pemangku adat, kegagalan manajemen perusahaan dalam membangun hubungan yang sehat dan berkelanjutan dengan masyarakat lokal, menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan selama ini tidak berpihak pada prinsip keadilan dan kelestarian.
Komunikasi yang minim, transparansi yang diragukan, serta penempatan aktor-aktor kepentingan yang tidak sensitif terhadap kearifan lokal telah memperdalam jurang ketidakpercayaan.
Yang lebih menyedihkan, masyarakat adat yang sebelumnya hidup tenteram sebagai petani lada, kini diliputi keresahan akibat ketidakpastian masa depan di tengah penetrasi industri tambang.
Di sisi lain, perusahaan terus mencatatkan pertumbuhan produktivitas dan keuntungan, namun masyarakat di sekelilingnya justru merasa kian terpinggirkan. Suasana di lingkar tambang seolah menjadi medan ketegangan yang tiada henti.
Sebagai tokoh adat, saya melihat bahwa gejolak ini juga diperparah oleh terbelahnya masyarakat adat sendiri.
Tidak sedikit yang menilai bahwa perusahaan seolah membiarkan bahkan memfasilitasi fragmentasi sosial ini, dengan mengabaikan keinginan masyarakat untuk melestarikan adat, budaya, dan tata nilai lokal.
Padahal, kekuatan utama Tana Luwu terletak pada harmonisasi antara sumber daya alam dan keluhuran adab masyarakatnya.
Kami mengimbau manajemen PT. Vale untuk berbenah, terutama dalam menempatkan pemangku kepentingan yang memiliki integritas, kapasitas, serta kepekaan sosial-budaya.
Kehadiran mereka semestinya menghadirkan solusi dan opsi kesejahteraan yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat adat—baik yang telah bekerja di perusahaan maupun yang masih berada di luar struktur formal industri.
Pemerintah daerah dan pusat juga tidak boleh tinggal diam. Setiap gejolak sosial di area tambang, sekecil apa pun, akan berimbas pada persepsi publik terhadap kinerja eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Bila dibiarkan, masyarakat akan merasa ditinggalkan dan berjuang sendiri menghadapi dampak eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi raksasa.
Sudah saatnya PT. Vale dan seluruh pemangku kepentingan menunjukkan itikad baik. Bukan sekadar menyerap hasil bumi, tetapi juga menumbuhkan kembali harapan masyarakat adat akan masa depan yang sejahtera, bermartabat, dan lestari.
Komentar