OPINI: Kritikan Mahasiswa Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan di Luwu Utara, Penghambat Kemajuan Daerah?

Oleh: Irsyad Alfarizi (Pemuda Luwu Utara)

Di era transisi kepemimpinan di Kabupaten Luwu Utara, keberadaan Mahasiswa mulai tidak disenangi oleh segelintir kelompok masyarakat, kritikan mahasiswa dianggap sebagai gangguan dan menghambat dalam kemajuan pembangunan daerah.

Hal tersebut dikuatkan oleh beberapa fakta lapangan, mahasiswa kerap mendapat perlakuan represif dari oknum Pejabat Publik, Masyarakat Sipil bahkan oknum Aparat Penegak Hukum (APH) itu sendiri.

Bukan hanya perlakuan represif, cemoohan sering kali keluar dari mulut masyarakat, sebuah group di platform media Facebook yang ramai ketika terjadi kritikan terhadap Demonstrasi menjadi salah satu parameter bahwa hampir tidak adalagi masyarakat yang senang dengan keberadaan mahasiswa dalam fungsinya menjadi mitra kritis penguasa.

“Tidak mau melihat daerahnya maju”, adalah kalimat yang sering kali terlontarkan dari mulut masyarakat terhadap mahasiswa, parahnya kerap kritikan mahasiswa justru di fream sebagai gerakan yang ditunggangi pihak lain.

Padahal kritikan terhadap pejabat publik bukanlah sebuah gangguan melainkan sebuah resonansi yang harus dihargai dan dipelajari, dapat kita bayangkan sebuah pemerintahan berjalan tanpa adanya pengawasan, akan potensi terjadi tidak adanya pertimbangan yang mendalam terhadap pembuatan produk kebijakan serta praktiknya.

Kritikan mahasiswa terhadap pejabat publik bukan hanya sebuah retorika belaka, kritikan dapat menciptakan iklim lingkungan pemerintahan yang Transparan dan Akuntabel, keberadaan mahasiswa sebenarnya justru memiliki peran sentral dalam proses kemajuan sebuah daerah.

Apakah masyarakat yang anti terhadap kritikan mungkin menutupi ketidakmampuan mereka dengan selimut keangkuhan atau mereka lebih memilih nyaman dalam kebodohan dibanding menghadapi kenyataan bahwa kritik adalah jalan menuju pencerahan.

Idealnya kritikan mesti dianggap sebagai keberanian intelektual, menjadi cermin untuk melihat keburukan, bukan malah menjadikan kritik sebagai musuh.

Pihak yang anti terhadap kritikan juga akan menciptakan lingkungan demokrasi yang mandul, dalam dunia berdemokrasi, dialektika adalah nadi yang menghidupkan pemikiran. Tanpa kritik, yang ada hanya monolog, sebuah komunikasi satu arah yang mati.

Justru masyarakat yang anti terhadap kritikan akan menghambat kemajuan daerah. Mereka menularkan budaya bisu, di mana pendapat berbeda dianggap ancaman bukan peluang untuk belajar. Lingkungan demokrasi yang sehat adalah tempat di mana kritik diterima dengan kepala dingin dan hati terbuka.

Tidak hanya itu, sikap anti terhadap kritikan juga bisa berdampak negatif pada dinamika sebuah kelompok. Dalam lingkungan sosial, kerja sama tim adalah hal yang umum, masyarakat yang tak mampu menerima kritikan dengan baik akan kesulitan dalam berkolaborasi, karena mereka cenderung defensif dan kurang terbuka terhadap pendapat orang lain. Ini bisa menciptakan ketegangan dan berujung pada terhambatnya sebuah kemajuan.

Fenomena ini mesti kita perangi bersama, masyarakat harus diajak keluar dari keterpurukan intelektual, masyarakat perlu terlatih untuk melihat kritik bukan sebagai serangan, tetapi sebagai bentuk perhatian dan kepedulian terhadap daerah.

Masyarakat perlu diajarkan bahwa menerima kritik adalah tanda kedewasaan intelektual, dan tentu saja, Luwu Utara, membangun budaya demokrasi yang merayakan substansi akan arti dari sebuah kritik, di mana setiap orang bebas berpendapat serta siap menerima adanya evaluasi demi kemajuan bersama, dengan demikian masyarakat akan tangguh dalam menghadapi realitas yang ada.

Komentar