Upaya Perbaikan Tatanan Adat Dimulai Dari Malangke, Pancai Pao Siap Bentuk Kerajaan Pajung ri Luwu

MALANGKE, ANGKASA NEWS – Tatanan adat di wilayah Kedatuan Luwu yang dinilai terus merosot dan keluar dari rel yang ada, membuat Pancai Pao merasa prihatin.

Kerusakan tatanan itu dimulai dari dualisme Datu Luwu, terbentuknya kelompok adat yang tidak sehat, hingga politisasi adat yang kurang elegan.

Melihat kondisi tersebut, Pancai Pao bersama Arung Malangke akan melakukan gerakan perbaikan tatanan adat yang dimulai dari Malangke, yang merupakan bekas istana Datu Luwu dan pusat pemerintahan Kerajaan Luwu pada abad ke-15.

Gebrakan awal yang akan dilakukan adalah membentuk Kerajaan Pajung ri Luwu, yang berpusat di Malangke, sebagai wadah pergerakan dalam mengakhiri dualisme Datu Luwu dan perbaikan tatanan adat.

“Saat ini, adat budaya Tana Luwu telah menyimpang dari rel atau tatanan adat yang semestinya. Seperti dualisme Datu Luwu, dan terbentuknya kelompok adat yang tidak sehat, sehingga mau tidak mau, suka atau tidak, dengan terpaksa Kerajaan Pajung akan kami bentuk kembali di Malangke, sesuai tatanan adat dalam rujukan sejarah, sebagai wadah pergerakan dalam pelestarian adat dan pengembangan budaya anak turunan tana Luwu, agar generasi di masa mendatang tidak memiliki pemahaman sejarah yang sesat,” jelas Pemegang Mandat Adat Pancai Pao, Abidin Arief To Pallawarukka SH, Jumat 4 Agustus 2023.

Abidin mengungkapkan, dari dua Datu Luwu, semuanya tidak menjalankan apa yang seharusnya dilakukan Datu Luwu.

Menurutnya, Andi Bau Iwan Alamsyah sibuk di luar wilayah adat tana Luwu mengikuti kegiatan adat, dengan membawa bawa simbol Datu Luwu. Sementara tidak diketahui apa dampak positif yang didapatkan anak turunan tana Luwu. Bahkan, termasuk dewan adat 12-nya dianggap tidak jelas, sehingga internal mereka sendiri tidak solid.

Begitupun dengan kelompok Andi Maradang, yang berdiam di istana Kedatuan Luwu, dengan mengatasnamakan diri Datu Luwu.

“Kami melihat, gerakan membawa simbol Kedatuan Luwu dari kelompok Andi Maradang juga tidak memberi azas manfaat besar bagi keseluruhan adat tana Luwu, terlebih kepentingan adat tana Luwu malah menimbulkan konflik di internal keluarga anak turunan Luwu, karena dualisme pemangku terjadi sampai ke tingkat bawa,” tandasnya.

Bahkan, kata Abidin, kelompok Andi Maradang telah menjerumuskan Kedatuan Luwu ke dalam politik praktis, dengan tersebarnya atribut kampanye, seperti baliho yang tertera simbol dan nama Datu Luwu.

“Simbol Kedatuan Luwu dan Datu Luwu, jangan seenaknya digunakan. Apalagi sampai dikendalikan dalam urusan politik yang bukan kepentingan adat tana Luwu, sebab hal itu merupakan jati diri anak turunan Luwu,” tandas dia.

Abidin tak mempersoalkan pemangku adat ikut berpolitik praktis, namun sebaiknya jangan membawa-bawa simbol yang disakralkan anak turunan Luwu. Sebab tidak ada jejak sejarah adat tana Luwu, seorang Datu atau Pajung ri Luwu, terkesan mudah membawa adat tana Luwu yang bukan pada tempatnya.

“Dua kelompok yang selalu sibuk mengatasnamakan dirinya Datu Luwu, yakni kelompok Datu Luwu 39 Andi Bau Iwan dan Datu Luwu 40 Andi Maradang, semuanya salah dalam melaksanakan pelestarian adat, makanya budaya anak turunan tana Luwu makin tergerus, karena nilai-nilai sifat kebangsawanan semakin pudar,” tandasnya.

Abidin menegaskan, masyarakat adat Pancai Pao telah bersepakat dengan Arung Malangke, untuk menata kembali tatanan adat tana Luwu, yang dimulai dari Malangke, sebagaimana peradaban sejarah adat tana Luwu, yang datang dari anak turunan Malangke.

Begitu juga Kerajaan Luwu pernah berpusat di Malangke. Bukti sejarah cagar budaya, seperti makam para raja, semua ada di wilayah Malangke, terlebih masuknya Islam di tana Luwu diterima secara resmi Kerajaan Luwu di Malangke. (fhm)

Komentar