Dukung Pernyataan Abutar Ranggo, Pancai Pao Beberkan Kronologi Munculnya Mokole Matano yang Baru

SOROWAKO, ANGKASA NEWS – Pemegang Mandat Adat Pancai Pao, Abidin Arief To Pallawarukka SH, mendukung pernyataan H Abutar Ranggo Boleta La Makandiu SE, selaku Pabbicara Mokole Wawainia Rahampu’u Matano, yang melakukan teguran terhadap Hasan Said, agar tidak menggunakan nama Mokole Matano, apalagi sampai membawa-bawa simbol adat Wawainia Rahampu’u Matano.

Abidin Arief juga menjelaskan kronologi munculnya nama Hasan Said dalam gerakan perbaikan tatanan adat di Matano, hingga jadi Mokole Matano yang baru.

Abidin menjelaskan, dulu adat Pancai Pao menjadi pelopor dalam gerakan pembentukan pilar adat Kedatuan Luwu, dengan tujuan melakukan perbaikan tatanan adat.

“Namun seiring dengan berjalannya waktu, kami cepat tarik diri, karena mengamati situasi saat itu, ada gerakan yang tidak sehat. Ada kesan bukan tujuan memperbaiki, namun justru terkesan ingin mengambil hak leluhur orang, yang justru semakin membuat adat Matano makin kacau,” tandasnya.

Abidin menegaskan, sebenarnya dualisme Mokole Matano tidak pernah terjadi, sehingga sangat aneh kesannya jika Hasan Said juga ingin muncul jadi Mokole Matano.

“Saat itu yang kami perangi adalah istilah Mokole Nuha. Karena berdasarkan salinan lontara yang kami masih simpan saat ini, Mokole Nuha adalah jejak sejarah penjajahan Belanda, dalam menghancurkan Kerajaan Matano, dengan mengangkat Kepala Distrik Nuha pada masa itu, dimana penjajahan Belanda cukup kuat dalam penguasaannya terhadap Kerajaan Matano,” jelas Abidin.

“Dalam gerakan pilar adat Kedatuan Luwu saat itu, kami beranggapan jika tatanan adat telah bergeser dalam wilayah Wawainia Rahampu’u Matano. Namun ternyata hal itu harus kami akui bahwa ada kekeliruan dalam gerakan tersebut, karena tidak semestinya harus memunculkan nama Mokole Matano yang baru, sebab urusan internal adat Wawainia Rahampu’u Matano tidak boleh pihak luar ikut campur. Apalagi sampai membentuk yang namanya Mokole Matano,” ujarnya.

Abidin mengakui, hal inilah yang sangat disayangkan, karena harusnya saling menjaga, dan saling menghargai dalam melestarikan kearifan lokal demi menjaga nilai sejarah dan budaya. Namun justru ada pihak yang merusak.

Terkait pembentukan Pelaksana Tugas (Plt) Mokole Matano, dijelaskan Abidin, sebenarnya itu untuk membangun komunikasi, baik antara pihak Mokole Wawainia Rahampu’u Matano, dengan Mokole Nuha, agar kehadirannya dipahami bahwasanya tujuan hadir semata untuk membantu menjaga marwah adat Matano, sekaligus punya tujuan menghilangkan istilah Mokole Nuha.

“Itulah sebabnya, kami tidak menggunakan istilah Mangku Adat, apalagi Pemangku, karena kami menyadari bahwa kami tidak punya hak untuk mencampuri adat Wawainia Rahampu’u Matano terlalu jauh,” jelasnya.

Istilah Plt juga, kata Abidin, hanya dikenali dalam istilah negara Republik Indonesia, bukan istilah adat, namun anehnya dari pihak Andi Maradang, Datu Luwu ke-40, malah mendeklarasikan istilah Plt dengan tujuan melantik Mokole Matano, yang pada akhirnya membuat kontroversi, sehingga pihak pengamanan harus turun tangan untuk mencegah agar tidak ada pelantikan di Sorowako.

“Harus kita ketahui bersama, bahwa H Umar Ranggo La Makandiu SE, dahulu diangkat oleh masyarakat Adat Wawainia Rahampu’u Matano, lalu dinobatkan melalui para dewan adatnya yang pelaksanaannya dilangsungkan di Matano, dengan acara yang cukup meriah,” katanya.

Sehingga, kata Abidin, beberapa adat besar di Tana Luwu, termasuk Andi Bau Iwan Alamsyah Datu Luwu ke-39, ikut hadir menyaksikan acara penobatannya.

“Jadi bukan Datu Luwu ke-39 yang mengangkat Mokole Matano, apalagi sampai membuatkan SK. Sebab dimana saja yang namanya daerah adat di Republik ini, tidak ada sejarahnya seorang Datu mengeluarkan SK pengangkatan seorang pemangku adat. Sebab seorang datu tidak punya hak untuk melantik, karena apabila seorang Datu Luwu melakukan hal itu, berarti sama halnya merendahkan dirinya karena terkesan gila urusan,” tandas Abidin.

Dijelaskan Abidin, Datu Luwu marwahnya sangat dijunjung tinggi. Sesuai falsafah adat Tana Luwu, naiyya datu tenna iri angin, tenna wellang esso, natukku ajena, natukku ulunna, anre manasumi na anre. Artinya, Datu Luwu itu tidak kena angin, tidak kena matahari, bahkan kaki sampai kepalanya semua tertutupi, dan hanya makanan sudah masak yang dihidangkan.

“Makna itu juga memberi pesan, jika seorang Datu Luwu, tinggal terima beres. Bukan harus kesana kemari, apalagi sampai melakukan pelantikan sana sini,” jelas Abidin.

“Jujur saja, kami sampaikan bahwa kami sangat malu membaca berita ada nama Hasan Said jadi Mokole Matano. Padahal gerakan pilar adat kedatuan Luwu kami bentuk, tujuannya untuk meluruskan tatanan adat tana Luwu, agar yang namanya Mokole Nuha ditiadakan,” ujarnya lagi.

“Bahkan, saat pertemuan di Marobo, Kecamatan Sabbang, di kediaman saudara Andi Suriadi, saat itu Hasan Said menangis seperti anak kecil saat rapat, yang mengharapkan kami agar berbuat maksimal menghilangkan istilah Mokole Nuha, dikarenakan keluarganya sudah terpecah belah, bahkan saling benci akibat adanya nama Mokole Nuha yang tidak sesuai rujukan sejarah adat tana Luwu,” kenang Abidin.

Namun ternyata, kata Abidin, air mata Hasan Said, air mata buaya. Ternyata tangisannya bukan untuk memperbaiki hubungan keluarga, melainkan ambisi besarnya agar dirinya bisa menjadi Mokole Matano, bahkan tidak memikirkan resiko perpecahan antara mereka sendiri sesama keluarganya.

“Dalam kesimpulan pernyataan ini, atas nama adat Pancai Pao, kami tekankan sekali lagi, bahwa pelantikan Hasan Said sebagai Mokole Matano, yang dilakukan secara tertutup di Kota Palopo oleh pihak Andi Maradang Mackulau, merupakan tindakan yang sama sekali tidak dibenarkan oleh tatanan adat tana Luwu, sebab tidak boleh mencampuri internal adat orang lain terlalu jauh,” tegas Abidin.

Bahkan, kata Abidin, hal itu dianggap telah menorehkan sejarah buruk dalam Kedatuan Luwu, karena membuat sejarah adat lain tergores, serta menjadi hal yang juga menyakitkan sampai merugikan orang lain. (*)

Komentar