Oleh: Agus (Ketua Umum PD IPM Kota Pare-Pare)
Muktamar adalah denyut nadi IPM. Bukan sekadar agenda berkumpul bersuka-ria, melainkan ruang sakral tempat kader menautkan cita, memperjelas arah, dan melahirkan generasi penerus perjuangan. Namun, apa jadinya bila nadi itu diperlambat detaknya, ditunda kabarnya, bahkan diumumkan bukan oleh sang pemilik mandat, melainkan oleh tuan rumah yang kebingungan?
Inilah yang hari ini terjadi. Pimpinan Pusat IPM seakan bercanda dengan waktu, mengulur tali periodesasi dan enggan peduli dengan irama organisasi dari pusat hingga ranting. Padahal, salah satu keindahan IPM terletak pada harmoni periodesasi yang rapi: ranting, cabang, daerah, wilayah, hingga pusat. Begitu satu simpul goyah, simpul lain ikut terseret.
Ironisnya, PP IPM lebih sering terlihat sibuk ke sana-kemari, tampil banyak di halaman maya & panggung dunia luar, namun kurang peduli pada panggung dalam yang sejatinya adalah inti dari perjuangan. Muktamar ditunda, tetapi bukan PP IPM yang mengumumkan, melainkan PW IPM Sulsel yang seolah dipaksa menjadi corong kebijakan. Sebuah tindakan yang mencederai martabat kepemimpinan nasional IPM.
Lebih dari itu, profesionalisme PP IPM patut dipertanyakan ketika kedekatan dengan lingkar kekuasaan justru lebih tampak dibanding kedekatan dengan kader diakar rumput. Apakah organisasi ini hendak ditarik arus kepentingan eksternal hingga melupakan esensi perjuangan yang seharusnya berpihak pada pelajar, bukan pada tahta dan reputasi?
Lalu ada kabar samar yang entah penambahan atau pengurangan usia hasil Tanwir. Informasi yang seharusnya terang benderang malah tenggelam dalam kabut. Seyogianya, PP IPM hadir untuk menghilangkan kabut, bukan justru abai pada perkara itu.
Pengunduran muktamar bukan sekadar soal tanggal. Ia adalah penghambat regenerasi. Kader yang pada Oktober masih cukup usia, justru akan terbuang di Februari. Sebuah kehilangan yang bukan hanya personal, tetapi juga kehilangan regenerasi yang siap melanjutkan estapet perjuangan dakwah.
Maka, saya menulis dengan hati yang gelisah, IPM lahir untuk membebaskan pelajar dari keterbelakangan, bukan untuk terkungkung karena ketidakjelasan pemimpin.
Terakhir, PP IPM mesti segera hadir untuk menuntaskan segala persoalan yang bertebaran dalam diskusi kopi para kader dengan segera berdiri di mimbar terbuka, menjelaskan dengan lapang, menegakkan periodesasi dengan tertib, dan mengembalikan martabat pimpinan yang mulai retak.
Sebab, Muktamar bukanlah hak istimewa bagi sekelompok elite IPM. Ia adalah rumah bersama, tempat kita menabur harapan. Jangan biarkan rumah kita kehilangan martabat akibat kelalaian penghuni puncaknya.
Jayalah IPM, Jayalah Pelajar!!!
Nūn, wal-qalami wa mā yasthurun
Komentar