Bahas Soal Dualisme Datu Luwu, Arung Malangke Temui Khusus Pancai Pao

MALANGKE, ANGKASA NEWS – Dualisme Datu Luwu, antara Andi Iwan Bau Alamsyah Djemma Barue dan Andi Maradang Mackulau Opu To Bau, terus mendapat perhatian untuk penyatuan.

Setelah perjuangan penyatuan Datu Luwu oleh Pancai Pao beberapa tahun terakhir, kini Arung Malangke kembali menyalakan api semangat untuk terus berjuang, agar dualisme Datu Luwu dapat segera diakhiri.

Arung Malangke Andi Takdir Djurfri SH MH, menemui khusus Pancai Pao Hajrin To Pawinru, membahas pembicaraan serius terkait tatanan adat Kerajaan/Kedatuan Luwu, 29 Juli 2023 malam lalu.

Dalam pertemuan itu juga dihadiri Abidin Arief To Pallawarukka SH, selaku Pemegang Mandat Adat Pancai Pao.

Pertemuan itu membahas adat serta budaya Tana Luwu yang kian redup, salah satu sebabnya karena dualisme Datu Luwu, yakni A Bau Iwan sebagai Datu Luwu ke-39, dan A Maradang sebagai Datu Luwu ke-40.

Menurut Pancai Pao Hajrin To Pawinru, kedua versi ini telah keliru dalam mengelola tatanan adat Kerajaan/Kedatuan Luwu, sehingga nilai-nilai adat budaya sebagai warisan leluhur, tidak lagi menjadi kebanggaan wija to Luwu saat ini.

“Namun, kini justru menjadi ancaman malapetaka untuk kita semua, karena ego sektoral, yang sekaligus menjadi pembiaran sejarah yang keliru,” katanya.

Arung Malangke Andi Takdir Djurfri menjelaskan, telah diketahui bersama bahwa, pada masa kejayaan kerajaan Luwu, pada abad ke-15, terdapat dua tokoh penting dalam Kerajaan Luwu, yakni Pati Arase Petta Mattinroe ri Pattimang (Petta Pattimang) sebagai Datu Luwu yang bergelar Pajung Ri Luwu.

Sedangkan tokoh kedua adalah Pati Paressa Petta Mattinroe ri Tana Pancai (Petta Pao), yang merupakan kakak dari Datu Luwu.

Dua figur ini adalah putra mahkota hasil pernikahan Maoge Datu Balubu Raja Luwu ke-13, dan E Tenri Rawe, Datu Luwu ke-14.

Sehingga pada abad ke-15, Pati Arase sebagai Raja Luwu ke-15, menjadi icon pemerintahan Kerajaan Luwu saat itu.

Sedangkan kakaknya, Pati Paressa alias Petta Pao, menjadi icon pemegang tatanan adat Kerajaan Luwu, yang bertugas menjaga tatanan adat di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Luwu.

Sehingga, dua putra mahkota yang bersaudara kandung ini, dalam menjalankan pemerintahan di Kerajaan Luwu, mereka membagi tugas, demi kemuliaan tana Luwu dan untuk kemartabatan seluruh masyarakat adat tana Luwu kala itu.

“Jika kita membandingkan sebuah pemerintahan saat ini, maka kedudukan Raja Luwu di Tana Luwu ini adalah panglima tertinggi, sedangkan kedudukan Petta Pao sebagai dewan pertimbangan agung,” terang Arung Malangke Andi Takdir.

Sehingga, jelas dia, apabila membahas sejarah adat yang merujuk pada abad ke-15, maka Arung Malangke dapat ditafsirkan sebagai adik kandung Raja Luwu sebagai Pajung Ri Luwu.

“Namun, jika kita merujuk abad ke-16, terdapat peristiwa yang cukup dikenal goresan sejarahnya tentang dua putra mahkota yang saling memperebutkan tahta, yakni Pati Pasaung, yang dikenal sebagai Raja Luwu ke-16 dan Pati Raja yang terkenal sebagai Datu Kamanre, yang menjadi Raja Gowa pada abad ke-18, maka semua adalah keponakan Petta Pao alias Pancai Pao, yang mana perselisihannya dua putra mahkota Pati Arase Raja ke-15, diselesaikan dalam panggung kehormatan yang bergelar ratona, sehingga dapat menjadi cerminan sejarah bijak secara turun temurun,” terangnya.

Dalam pertemuan malam itu, untuk mengakhiri dualisme Datu Luwu, Pancai Pao Hajrin to Pawinru, memberikan tugas sebagai amanah kepada Pemegang Mandat Adat Pancai Pao Abidin Arief To Pallawarukka, agar kiranya membangun komunikasi kepada seluruh pihak, utamanya kepada pemerintah sebagai penyelenggara di Republik Indonesia, beserta para pemerhati dan tokoh adat budaya Tana Luwu.

Komunikasi Pancai Pao ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi tentang penyatuan Datu Luwu, dan perbaikan tatanan adat di Tana Luwu, sehingga pelestarian adat dan budaya Luwu dapat betul-betul berjalan.

Arung Malangke mengatakan, Adat Luwu bukan milik personal atau kelompok A Iwan atau kelompok A Maradang, tapi adat Luwu milik orang banyak, yang harus dijaga bersama pelestariannya, agar bisa lebih menonjol dengan kemuliaan.

Sementara itu, Abidin Arief menanggapi amanah yang diberikan kepadanya. Ia mengaku amanah itu sangat berat untuk dilaksanakan, namun sebagai anak turunan Pancai Pao yang menghargai perjuangan leluhur, tentu harus bersedia menerima serta melaksanakan amanah adat yang disampaikan langsung Pancai Pao, demi kepentingan seluruh adat tana Luwu dan demi kemaslahatan ummat.

“Kedepan kami akan lakukan komunikasi serta pergerakan untuk dengan cara sipakatau sipakaraja sipakalebbi sipakainge. Juga secara transparas menyampaikan lewat media, sehingga keseluruhan masyarakat pembaca lebih mudah mengetahui perkembangan, dan tidak mencederai norma norma hukum adat maupun negara, terlebih agama,” tandasnya. (fhm)

Komentar