Oleh: Andi Nayla Muhajirin (Ilmu Hubungan Internasional Universitas Bosowa)
Persaingan antara dua negara adikuasa, Amerika Serikat (AS) dan China yang semakin membara telah menciptakan ketegangan yang mengguncang tatanan geopolitik global. Pertarungan antara keduanya tidak hanya mengevaluasi batas ambisi masing-masing, tetapi juga menjadi ancaman terhadap stabilitas dunia.
Dilansir dari berbagai sumber informasi bahwa, ketegangan antara AS dan China bermula pasca-Revolusi Komunis China 1949, yang menjadi titik awal ketidakharmonisan AS terhadap pemerintahan Komunis di era Mao Zedong.
Hubungan bilateral sempat membaik pada 1970-an berkat kunjungan Presiden Nixon ke China, namun ketegangan kembali muncul setelah China bergabung dengan World Trade Organization (WTO) pada 2001. Ketegangan ekonomi kembali memuncak pada 2018 ketika Presiden Donald Trump memulai perang dagang dengan China, yang kian memperburuk konflik ekonomi dan geopolitik antara kedua negara.
Kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh Trump, dengan mengenakan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari China, seperti tarif 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium, membuat China merespons dengan tarif serupa untuk barang-barang AS. Meskipun kesepakatan sementara tercapai pada Desember 2018, ketegangan ini terus memanas, terutama dalam hubungan ekonomi dan perdagangan global.
Pada saat yang sama, kebangkitan ekonomi China di wilayah Asia-Pasifik, terutama di Laut China Selatan, semakin mengkhawatirkan AS, yang khawatir akan masa depan Taiwan. Taiwan, yang memiliki hubungan perdagangan erat dengan AS, menjadi perhatian utama dikarenakan AS khawatir jika Taiwan berada di bawah kendali China, pergeseran kekuatan ekonomi dan politik akan lebih jelas dan merugikan terhadap kepentingan AS.
Dinamika ketegangan AS-China menantang banyak negara kecil termasuk Indonesia. Posisi Indonesia yang berada di pusat geopolitik Asia-Pasifik membuatnya terjebak dalam dilema besar. Di Tengah ketegangan tersebut, Indonesia idealnya memanfaatkan peluang dan strategi yang cerdik, agar tidak terjebak dalam konflik yang berpotensi akan merugikan kepentingan nasional.
Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pelantikannya di tanggal 20 Oktober 2024 sebagai Presiden RI ke-8, telah mengusung kebijakan luar negeri “Bebas Aktif” yang menekankan diplomasi aktif, tegas, dan inspiratif untuk peran Indonesia di kancah global.
“Dalam menghadapi dunia internasional Indonesia memilih jalan Bebas Aktif, Non-Blok, Non-Line kita tidak ikut pakta-pakta militer manapun, kita memilih untuk bersahabat dengan semua negara. Seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak,” tegas Prabowo Subianto dalam pidatonya.
Ungkapan Presiden Prabowo menjadi Pedoman dalam menjaga keharmonisan hubungan bilateral dengan semua negara, tanpa terjebak dalam perselisihan global yang merugikan. Hal tersebut mencerminkan sikap Indonesia yang harus menjaga netralitas namun tetap aktif bermanuver dalam diplomasi.
Apakah kebijakan “Bebas Aktif” yang senantiasa digaungkan mampu menjaga netralitas, ataukah justru malah menjadi manipulasi ketegangan?
Menyikapi hal itu strategi cerdas perlu diupayakan Indonesia di tengah dinamika geopolitik, agar tak terjebak dalam konflik antara AS-China. Netralitas dalam situasi ini bukanlah kelemahan, tetapi merupakan pilihan yang bijak.
Indonesia mesti dapat membangun hubungan kuat dengan semua pihak tanpa mengorbankan nilai-nilai dan sikap politiknya di kancah internasional. Dengan demikian, kebijakan luar negeri “Bebas Aktif” yang telah menjadi komitmen Prabowo dapat menjaga relevansi Indonesia di mata dunia sembari mempertahankan integritas politiknya.
Mengapa Indonesia mesti mengambil sikap netral?
Ketegangan antara AS dan China sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. AS menerapkan proteksi perdagangan dengan tarif tinggi terhadap barang-barang China untuk melindungi industri dalam negerinya. Sementara itu, China, yang sebelumnya pro terhadap perdagangan bebas, kini beralih pada proteksi dengan memaksakan prinsip “Nine-Dash Line” di Laut China Selatan, yang hal ini bertentangan dengan kepentingan Indonesia dan negara-negara lain di wilayah tersebut.
Indonesia dengan posisi netral, menjadi peluang dalam memperoleh keuntungan strategis. Dalam ketegangan ini, Indonesia dapat berfungsi sebagai lokasi perdagangan alternatif yang dapat mempertahankan hubungan baik dengan AS maupun China.
Selain itu, Indonesia memiliki potensi untuk menarik investasi asing, terutama dari kedua negara adidaya tersebut, yang berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional, yang diproyeksikan mencapai 8% dalam beberapa tahun mendatang. Namun, tantangannya ialah bagaimana Indonesia mampu tetap eksis atas sikap yang telah diambil sembari mengoptimalkan hubungan dengan kedua negara besar ini.
Oleh karena itu, tidak hanya Prabowo, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia yang harus memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi negara yang bijak dalam menjaga keseimbangan, dan yang lebih penting yakni memastikan kepentingan nasional tetap terlindungi dalam menghadapi ketegangan antara AS-China. Inilah momentum bagi Indonesia untuk menjadi aktor strategis dalam menyikapi dinamika geopolitik internasional.
Komentar