Oleh: Saparuddin Santa (Direktur Eksekutif Visi Indonesia Consulting)
Masih ada 43,6% (Persen) masyarakat Kota Palopo yang percaya bahwa uang bukan segalanya, hasil Survei Visi Indonesia Consulting, 5-15 Mei 2025.
Ada fakta menarik yang tim kami dari lembaga Survei Visi Indonesia Consulting temukan saat melakukan Survei tahap akhir menjelang Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Palopo. Diketahui, PSU akan berlangsung pada Sabtu, 24 Mei 2025.
Survei yang dilakukan dengan metode Multisage Random Sampling terhadap 480 responden di 48 Kelurahan yang tersebar di 9 Kecamatan, Kota Palopo, pada periode Survei 5-15 Mei 2025, menunjukkan bahwa masih ada 56,4% Pemilih di Kota Palopo yang percaya bahwa uang adalah penentu kemenangan kandidat.
41,2% menyatakan tidak setuju dan belum tentu memilih calon yang mengandalkan uang, sisanya 2,4% memilih tidak menjawab atau masih ragu.
Di periode Survei sebelumnya, pada tanggal 10-20 April 2025, angka yang setuju terhadap Money Politic atau Politik Uang berada di 76,7% (Dihimpun dari salah satu sumber media informasi, 25 April 2025).
Salah satu penyebab turunnya presentase Pemilih pragmatis adalah peringatan keras Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, kepada para calon saat menghadiri Deklarasi Pilkada Damai di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Palopo, 7 Mei 2025 lalu.
Saat itu Gubernur menyampaikan dengan tegas kepada para calon untuk jangan coba-coba menggunakan Money Politic, jika tidak ingin di diskualifikasi.
Meskipun terjadi penurunan, tapi tetap saja, ini angka yang signifikan. Ironisnya, Pemilih 56,4% ini, menyatakan bersedia menerima uang, dan hanya akan memilih calon yang memberikan uang.
Saat tim kami menanyakan dalam wawancara mendalam atau indepth interview: “Mengapa anda mau menerima uang dari calon?” Jawabannya beragam, tapi intinya sama, para Pemilih ini menganggap bahwa pemimpin yang ideal adalah “Yang memiliki uang”.
Bukanlah hal penting jika calon tersebut memiliki pengalaman kepemimpinan memumpuni atau tidak. Tidak peduli, calon yang didukung punya latar belakang di pemerintahan atau tidak, serta tidak peduli pada kualitas figur dan track record calon.
Para Pemilih pragmatis ini dengan mudah dan tanpa rasa bersalah sedikitpun, menganggap bahwa menerima uang politik dari salah satu calon tak memiliki konsekuensi moral dan tanggungjawab terhadap baik buruknya tata kelola pemerintahan di masa mendatang.
Situasi ini sebetulnya bukanlah hal yang aneh. Sejak beberapa periode pemilihan, di beberapa wilayah yang berbeda dimana lembaga Survei kami ikut serta melakukan Survei perilaku Pemilih, nasibnya hampir sama.
Banyak sekali calon-calon kepala daerah yang memiliki kemampuan dan pengalaman, serta rekam jejak kepemimpinan yang baik, mesti menyerah dan kalah oleh kekuatan uang dari calon yang punya logistik besar.
Celakanya, pemerintah dan pihak penyelenggara, tidak punya daya dan kemampuan untuk mencegah itu. Padahal sesungguhnya pragmatisme politik, dalam bentuk praktik Money Politic dapat di cegah, jika adanya kesungguhan niat untuk memperbaiki sistem demokrasi di Republik Indonesia ini.
Di banyak daerah, termasuk Kota Palopo, dalam temuan Survei kami, upaya pencegahan Politik Uang, nyaris tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Beban pengawasan dan pencegahan sepenuhnya hanya di berikan kepada penyelenggara, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Dengan jumlah yang sangat terbatas, 3 Komisioner kabupaten dan 3 Komisioner kecamatan, ditambah 1 Pengawas di tiap desa atau kelurahan, serta Pengawas di tiap TPS, tentu bukan pekerjaan mudah untuk memantau pergerakan dan peredaran Politik Uang.
Tanggung jawab pengawasan, dan terutama pencegahan, mestinya harus di lakukan secara bersama-sama oleh seluruh unsur pemerintahan dan Aparat Penegak Hukum (APH), beserta tokoh-tokoh masayarakat, terutama tokoh Agama.
Bukankah, menerima janji atau uang untuk tujuan mendapatkan suara adalah hal yang haram?
Mengapa para tokoh Agama, khususnya para pendakwah, tidak “Mengkampanyekan” di rumah-rumah ibadah bahwa menerima uang untuk mendapat suara adalah dosa?
Padahal, jika ada upaya yang sungguh-sungguh, pemerintah bersama para pendakwah, bisa menjadikannya sebagai dakwah rutin di Masjid atau Gereja, maupun tempat ibadah lainnya.
Sehingga masyarakat setiap saat merasa perlu untuk merenung dan memikirkan, bukan hanya kebutuhan sesaat, tapi juga tentang “Hari Pembalasan” kelak.
Atau mungkinkah masyarakat kita sudah tidak lagi percaya hari kemudian atau akhirat, dimana setiap orang akan diberikan pertanyaan dan hukuman, sekecil apapun dosa yang telah dilakukan di dunia, termasuk menerima uang dalam memilih pemimpin.
Lebih parahnya, para calon yang diharapkan bisa menjadi teladan dan panutan untuk membawa sebuah daerah bersih dari praktik-praktik korupsi, tak punya sedikitpun rasa malu dan takut, baik itu kepada penyelenggara dan pengawas Pilkada, dalam hal ini Bawaslu dan APH, juga tidak ada sedikitpun rasa takut terhadap Tuhan Yang Maha Melihat.
Masyarakat tidak pernah belajar atau melihat hasil pembangunan, dari pemimpin yang terpilih karena dibutakan oleh uang.
Padahal jejak-jejak pemerintahan yang pembangunan daerahnya hancur atau sulit maju karena Walikota dan atau Bupatinya terpilih dengan mengandalkan uang, sudah terlalu banyak.
Di era digital ini, dengan mudah kita membaca di media, berapa banyak Bupati dan Walikota yang berakhir di penjara.
Kondisi ini diperparah dengan, tidak adanya keinginan dan perjuangan dari kaum intelektual untuk bersama-sama menghentikan praktik Money Politic ini.
Untuk Kota Palopo, tidak ada kata terlambat sesungguhnya, sebab masih ada 43,6% (Termasuk yang 2,4% yang memilih tidak menjawab) masyarakat Kota Palopo yang percaya bahwa uang bukan segalanya.
Dengan komposisi empat Pasangan calon (Paslon) yang berkompetisi, peluang akan keterpilihan setiap Paslon masih dinamis.
Terlalu mahal bagi masyarakat Kota Palopo jika menggadaikan harga dirinya hanya dengan uang Rp. 200.000 atau Rp. 300.000, bahkan Rp. 500.000 sekalipun, dibandingkan dengan masa depan Kota Palopo selama 5 Tahun mendatang, serta pertanggungjawabannya terhadap Tuhan.
Komentar