Marhaenisme dan Aswaja: Titik Temu Politik Kebangsaan Islam Nusantara

Titik Temu Politik Kebangsaan Islam Nusantara yang Progresif-Revolusioner.

Marhaenisme dan Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) merupakan dua pilar penting dalam pembentukan identitas politik kebangsaan di Indonesia. Keduanya, meskipun berakar dari tradisi dan ideologi yang berbeda, memiliki kesamaan visi dalam membangun bangsa yang adil, makmur, dan berdaulat.

Marhaenisme: Ideologi Kerakyatan

Marhaenisme, dipelopori oleh Ir. Soekarno, berakar pada konsep kerakyatan yang berfokus pada pemberdayaan rakyat kecil. Soekarno mengadopsi nama “Marhaen” dari seorang petani yang ditemuinya di Bandung, sebagai simbol perjuangan rakyat jelata melawan penindasan. Marhaenisme menekankan Keadilan Sosial, Nasionalisme, dan Internasionalisme, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang sejahtera tanpa adanya eksploitasi.

Prinsip-prinsip Marhaenisme mencakup:

1. Keadilan Sosial: Menekankan pemerataan ekonomi dan kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat.

2. Anti-Imperialisme: Melawan segala bentuk penjajahan dan intervensi asing.

3. Nasionalisme: Memupuk semangat kebangsaan untuk menjaga kedaulatan bangsa.

Aswaja: Landasan Keagamaan

Di sisi lain, Aswaja merupakan landasan teologis bagi mayoritas umat Islam di Indonesia, terutama dalam tubuh Nahdatul Ulama (NU). Aswaja menekankan moderasi (Tawassuth), keseimbangan (Tawazun), dan toleransi (Tasamuh) dalam kehidupan beragama dan sosial. Nilai-nilai ini mendukung harmoni sosial dan keberagaman di tengah masyarakat yang majemuk.

Aswaja memiliki beberapa karakteristik utama:

1. Moderasi: Menghindari ekstremisme dalam praktik keagamaan.

2. Toleransi: Menghargai perbedaan pandangan dan kepercayaan.

3. Komunitarianisme: Menjaga solidaritas dan kerjasama dalam komunitas.

Titik Temu: Politik Kebangsaan Progresif-Revolusioner

Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, Marhaenisme dan Aswaja dapat bertemu dalam beberapa aspek penting untuk mewujudkan politik kebangsaan yang progresif-revolusioner:

1. Kesejahteraan Rakyat: Kedua ideologi menekankan pentingnya kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat. Marhaenisme, dengan fokus pada keadilan sosial, dan Aswaja, dengan ajarannya tentang zakat dan sedekah, sama-sama mendorong distribusi kekayaan yang adil.

2. Anti-Penindasan: Marhaenisme secara tegas menolak segala bentuk imperialisme dan kapitalisme yang menindas. Aswaja, dengan nilai moderasinya, menolak ekstremisme dan penindasan atas nama agama. Kedua ideologi ini menginginkan kebebasan dan kemandirian bagi bangsa Indonesia.

3. Kebhinekaan: Aswaja yang menekankan toleransi dan moderasi, serta Marhaenisme yang mengedepankan nasionalisme inklusif, sama-sama mengakui keberagaman sebagai kekuatan bangsa. Keduanya mempromosikan persatuan dalam perbedaan, mendukung pluralisme dalam kerangka negara kesatuan.

Implikasi dalam Politik Kontemporer

Dalam konteks politik kontemporer, kolaborasi antara nilai-nilai Marhaenisme dan Aswaja dapat memperkuat basis ideologis partai-partai politik yang berhaluan nasionalis-religius. Penggabungan ini menawarkan perspektif baru dalam menghadapi tantangan modern, seperti ketimpangan sosial, radikalisme, dan globalisasi.

1. Kebijakan Publik: Pemerintah dapat mengadopsi kebijakan yang mencerminkan keadilan sosial ala Marhaenisme dan keseimbangan ala Aswaja, seperti redistribusi kekayaan dan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin.

2. Pendidikan dan Kebudayaan: Penerapan nilai-nilai Aswaja dalam pendidikan dapat membentuk karakter generasi muda yang toleran dan moderat, sedangkan semangat nasionalisme dari Marhaenisme dapat memupuk rasa cinta tanah air.

3. Penguatan Civil Society: Kolaborasi antara organisasi berbasis Marhaenisme dan Aswaja dapat memperkuat gerakan civil society dalam membangun masyarakat yang mandiri dan kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Kesimpulan

Marhaenisme dan Aswaja, meskipun berasal dari konteks sejarah dan sosial yang berbeda, memiliki potensi untuk bersinergi dalam menciptakan politik kebangsaan yang progresif-revolusioner.

Dengan fokus pada kesejahteraan rakyat, penolakan terhadap penindasan, dan penghargaan terhadap kebhinekaan, kedua ideologi ini dapat menjadi landasan yang kuat untuk membangun Indonesia yang adil dan makmur. Sinergi ini tidak hanya relevan dalam konteks sejarah, tetapi juga menjadi kebutuhan mendesak dalam menjawab tantangan kebangsaan di era modern. (red)

Komentar